Mendengarkan Argumentasi Anak
Mendengarkan Argumentasi Anak merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 19 Muharram 1447 H / 15 Juli 2025 M.
Kajian Tentang Mendengarkan Argumentasi Anak
Ini adalah salah satu pendekatan yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para remaja. Remaja, dengan segala kekurangannya, kerap melakukan kesalahan dan kekeliruan, bahkan bisa mengulanginya. Dalam hal ini, kewajiban kita sebagai pendidik bukanlah menjadi hakim yang menghakimi, melainkan menjadi guru yang mengarahkan, membimbing, dan meluruskan kesalahan tersebut.
Dalam hal ini, kita perlu kesabaran. Menghakimi, menjatuhkan vonis, atau menghukum bukanlah hal yang sulit. Namun, membimbing, mengarahkan, dan memberikan pendidikan membutuhkan kesabaran bahkan kesabaran yang ekstra. Oleh karena itu, jangan menyoroti pribadinya. Itu hanya akan membuat kita semakin tidak menyukai dan membencinya. Sorotlah kesalahan dan perilakunya, meskipun kenyataannya mereka memang keliru. Jangan terlalu berlebihan dalam menanggapi dan menyikapi kesalahan tersebut. Terkadang, ada orang tua yang justru bereaksi secara berlebihan ketika menyikapi kesalahan anak.
Mungkin kita masih bisa memaklumi kesalahan yang dilakukan oleh mereka yang masih muda.
Namun, jangan sampai kita salah dalam menyikapinya. Sebab, hal ini bisa menjadi bumerang. Kejadian semacam ini pernah terjadi pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika beliau mendapat laporan tentang kesalahan yang dilakukan oleh seorang remaja. Dia adalah Usamah bin Zaid. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkannya ikut berperang dalam usia yang sangat muda, masih remaja belia, sekitar lima belas tahun. Dalam peperangan itu, Usamah melakukan kesalahan fatal: ia membunuh seseorang yang telah mengucapkan لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱللّٰهُ. Ini tentu bukan kesalahan ringan. Ketika kabar tersebut sampai kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau tidak bereaksi secara berlebihan. Nabi memanggilnya. Coba lihat bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meluruskan kesalahan seorang remaja. Beliau bertanya kepadanya:
أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟
“Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaaha illallaah?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi ini adalah bentuk pertanyaan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin mengonfirmasi kembali, walaupun beliau telah mendengar laporan dari banyak orang. Namun, Nabi tidak serta-merta menghukumi secara sepihak. Beliau tidak langsung menghantam, menghakimi, atau menjatuhkan hukuman. Tidak demikian. Padahal, bisa jadi berita yang sampai kepada beliau itu valid. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan kesempatan kepada Usamah untuk membela diri dan mengonfirmasi kembali berita yang disampaikan. Beliau tidak menghakimi Usamah bin Zaid secara sepihak, padahal saat itu Usamah masih remaja. Coba lihat bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memperlakukan remaja. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkomunikasi dengannya seolah-olah ia adalah seorang yang dewasa. Padahal, Usamah saat itu masih remaja, bahkan masih berada di usia pertengahan remaja.
Namun, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengabaikan bakat yang dimiliki oleh Usamah. Beliau tidak ingin menyia-nyiakan (potensi tersebut) karena pendekatan yang salah atau negatif. Inilah yang perlu kita jaga pada anak-anak kita. Jika pendekatan kita keliru, kita bisa kehilangan potensi mereka. Anak pun bisa memandang dirinya secara negatif karena orang tuanya memandangnya negatif
Kita pun bisa teralihkan dari sisi positif seorang anak ketika kita terlalu berlebihan dalam menyikapi kesalahannya, seolah-olah kesalahan tersebut tidak terampuni atau tidak dapat dimaafkan. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua memang memerlukan kesabaran yang terus diasah.
Lihatlah bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memperlakukan seorang remaja yang melakukan kesalahan. Beliau berkata, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaaha illallaah?” Dari pertanyaan ini, kita dapat memetik pelajaran bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan kesempatan kepada Usamah untuk menyampaikan argumennya, meskipun Usamah hanyalah seorang remaja.
Bandingkan dengan sebagian sikap kita yang mungkin langsung membungkam anak, berkata, “Kamu bikin kacau. Sudah, tidak usah ikut lagi dalam peperangan berikutnya,” atau bahkan yang lebih buruk: “Menyesal aku mengirim kamu. Kamu hanya bikin masalah.” Kata-kata seperti ini dapat membuat seorang remaja merasa kecil hati, Ia pun merasa seolah-olah dirinya adalah sumber dari setiap kesalahan, biang persoalan, dan penyebab berbagai masalah. Akibatnya, ia mulai memandang dirinya secara negatif.
Jadi, Nabi memberikan kesempatan kepada Usamah untuk menyampaikan pembelaannya. Usamah pun membela diri dan berkata, “Wahai Rasulullah, dia hanya berpura-pura! Ia telah membunuh banyak pasukan Muslim, kemudian saat hendak melarikan diri dan tertangkap, barulah ia mengucapkan laa ilaaha illallaah.” Namun, Nabi meluruskan argumentasi tersebut. Beliau menegaskan bahwa tindakan membunuh seperti itu adalah perbuatan dan argumentasi yang salah. Terkadang manusia itu perlu juga diluruskan argumentasinya, atas perbuatannya yang salah. Namun dia punya argumentasi atas kesalahannya itu dan setiap orang punya alasan atas apa yang dilakukannya. Akan tetapi sebenarnya manusia itu tahu tentang dirinya walaupun dia mengungkapkan berbagai macam alasan, sehingga wajar saja melakukan pembelaan diri (self defense).
Nabi mendengarkan argumentasi Usamah, tidak memotongnya, hingga Usamah menyadari bahwa argumentasinya keliru. Sebab, jika seseorang tidak diberi kesempatan menyampaikan alasannya, ia akan merasa bahwa argumennya benar dan sulit menerima bahwa dirinya bersalah. Terkadang banyak orang tua yang tidak memberikan kesempatan bagi anak untuk berargumentasi.
Bahkan, sebagian orang tua menganggap tindakan anak yang mengemukakan argumen sebagai bentuk penentangan atau kedurhakaan. Padahal, tidak selalu demikian. Selama komunikasi dilakukan dengan cara yang baik, sopan, dan beretika, maka tidak ada masalah jika anak menyampaikan argumentasinya. Maka kita perlu mengajarkan kepada mereka bagaimana cara berargumentasi yang benar.
Walaupun kita adalah orang tua, coba perhatikan bagaimana Nabi, panglima perang tertinggi, dan pemimpin negara menunjukkan di sisi ini beliau tidak tampil sebagai sosok dengan jabatan tinggi, tetapi justru menundukkan diri di hadapan Usamah bin Zaid sebagai seorang pendidik, seorang guru, dan pembimbing.
Terkadang anak juga perlu belajar untuk berargumentasi. Ia perlu belajar bagaimana menyampaikan argumentasi dengan baik, dengan etika, sopan santun, dan akhlak yang mulia. Hal ini sangat penting. Jika ia tidak pernah diajarkan bagaimana cara berargumentasi yang benar, bagaimana mungkin di kemudian hari ia mampu melakukannya dengan baik?
Maka Nabi mematahkan argumentasi itu dan bersabda, “Apakah engkau sudah membelah dadanya? Apakah engkau tahu apa isi hatinya, bahwa ia hanya pura-pura?”
Nabi tidak serta-merta menjatuhkan vonis: “Kamu salah.” Tidak. Namun, Nabi memberikan suatu pemikiran kepada Usamah yang saat itu masih remaja. Perhatikan bagaimana Nabi membangun kedewasaan seorang remaja agar ia mau berpikir, agar ia bisa berpikir jernih. Dan hal itu menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi dirinya.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Lalu bagaimana engkau akan menghadapi laa ilaaha illallaah itu pada hari Kiamat?”
Inilah yang membuat Usamah bin Zaid benar-benar menyesali perbuatannya, namun tanpa merasa dihakimi. Ia menyadari bahwa yang ia lakukan adalah kesalahan yang sangat fatal. Rasa penyesalan itu begitu dalam hingga Usamah berkata, “Andai saja aku baru masuk Islam saat itu,” sebagai bentuk ungkapan penyesalan yang luar biasa. Dari kejadian ini, ia mendapat pelajaran bahwa kesalahan yang ia lakukan itu sangatlah fatal, sehingga ia tidak mau mengulanginya, karena ia mengakui kesalahan itu beserta argumentasinya.
Usamah benar-benar meyakini bahwa apa yang ia lakukan saat itu adalah kesalahan besar. Keyakinan ini membuatnya tidak mengulanginya lagi. Ia jera melakukan kesalahan yang sama yaitu membunuh seseorang yang telah mengucapkan laa ilaaha illallaah.
Sejak kejadian itu, Usamah bin Zaid menjadi seorang yang sangat wara’ dalam urusan pertumpahan darah sesama kaum Muslimin. Ia tidak pernah lagi terlibat dalam peperangan yang melibatkan sesama kaum muslimin.
Itulah pentingnya mendengarkan argumentasi anak, agar ia benar-benar yakin bahwa apa yang dilakukannya itu salah bukan sekadar tahu bahwa perbuatannya keliru. Itu belum cukup. Karena itu, penting untuk mendengarkan alasan di balik perbuatannya. Jika ternyata ia melakukannya tanpa alasan, maka ia akan lebih mudah menyesali perbuatannya.
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.
Download mp3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55336-mendengarkan-argumentasi-anak/